Festival Film Internasional Red Sea Tandai Kebangkitan Industri Perfilman Arab Saudi Setelah 35 Tahun Dilarang. “My Driver and I” seharusnya dibuat pada 2016, namun proyek itu terhenti akibat larangan bioskop yang berlangsung lama di Arab Saudi. Delapan tahun kemudian, industri perfilman di kerajaan ini jauh lebih berkembang — dan bintang dari “My Driver and I” kini meraih penghargaan.
Roula Dakheelallah dinobatkan sebagai pemenang Chopard Emerging Saudi Talent Award di Festival Film Internasional Red Sea pada Kamis (12/12/2024). Penghargaan ini — serta festival megah tersebut — menunjukkan komitmen Arab Saudi dalam membangun industri film yang baru.
“Hati saya sangat mencintai sinema dan seni; saya selalu bermimpi untuk bisa sampai pada momen seperti ini,” kata Dakheelallah kepada AP sebelum acara penghargaan, seperti yang dilaporkan pada Minggu (15/12/2024).
“Dulu saya terlibat dalam produksi film secara sukarela dan membantu teman-teman di industri ini, tetapi ini adalah peran besar pertama saya dalam sebuah film.”
Pembukaan kembali bioskop pada 2018 menandai titik balik budaya bagi Arab Saudi, sebuah monarki absolut yang telah memberlakukan larangan bioskop selama 35 tahun, di bawah pengaruh otoritas agama konservatif. Sejak itu, kerajaan ini telah berinvestasi besar-besaran dalam industri film lokal dengan membangun bioskop-bioskop dan meluncurkan berbagai program untuk mendukung pembuat film lokal melalui hibah dan pelatihan.
Festival Film Internasional Red Sea dimulai setahun setelah pembukaan kembali bioskop, sebagai bagian dari upaya kerajaan untuk memperluas pengaruhnya dalam berbagai bidang seperti film, permainan, olahraga, dan budaya. Namun, beberapa aktivis mengkritik investasi ini sebagai upaya “mencuci citra” Arab Saudi, untuk mengalihkan perhatian publik dari catatan hak asasi manusia negara tersebut. Mereka menyoroti bagaimana Arab Saudi masih mengontrol kebebasan berbicara dengan ketat dan tetap menjadi salah satu negara dengan tingkat eksekusi tertinggi di dunia.
Setelah FIFA menunjuk Arab Saudi sebagai tuan rumah Piala Dunia 2034 minggu ini, Lina al-Hathloul, seorang aktivis hak asasi manusia asal Arab Saudi yang tergabung dalam kelompok ALQST di London, menyatakan bahwa Putra Mahkota Mohammed bin Salman “telah berhasil menciptakan sebuah gelembung di mana orang hanya fokus pada hiburan dan mengabaikan kenyataan yang ada di lapangan”.
Target Pembangunan Bioskop
Semua upaya tersebut merupakan bagian dari Visi 2030, rencana reformasi yang diluncurkan pada 2016 untuk mengurangi ketergantungan ekonomi Arab Saudi pada minyak. Sebagai bagian dari inisiatif itu pula, Arab Saudi berencana membangun 350 bioskop dengan lebih dari 2.500 layar.
Hingga April tahun lalu, telah ada 66 bioskop yang tersebar di 22 kota, menayangkan film lokal serta film Hollywood dan Bollywood.
Festival Film Internasional Red Sea, yang diadakan setahun setelah pembukaan kembali bioskop, menarik banyak talenta dari berbagai industri, di mana Viola Davis dan Priyanka Chopra Jonas meraih penghargaan pada Kamis lalu.
Bulan lalu, Otoritas Hiburan Umum Arab Saudi membuka Al Hisn Studios di pinggiran Riyadh. Studio ini, salah satu pusat produksi terbesar di Timur Tengah, dilengkapi dengan beberapa studio film dan desa produksi yang memiliki bengkel untuk pertukangan kayu, pandai besi, dan penjahitan busana.
“Fasilitas seperti ini akan merangsang para pembuat film,” ungkap aktor Arab Saudi Mohammed Elshehri. “Sekarang, tidak ada penulis atau sutradara yang bisa mengatakan, ‘Saya tidak bisa mewujudkan imajinasi saya.'”
Salah satu pelopor utama dalam transformasi perfilman Arab Saudi adalah Telfaz11, yang menghasilkan konten digital berkualitas tinggi, seperti film pendek, sketsa komedi, dan serial, yang menawarkan perspektif segar tentang isu-isu Saudi dan regional.
Pada 2020, Telfaz11 menjalin kemitraan dengan Netflix untuk memproduksi konten asli bagi raksasa streaming tersebut. Hasilnya adalah film-film yang menampilkan evolusi dalam bercerita, membahas topik-topik yang dulunya dianggap tabu dan sensitif di masyarakat, seperti kehidupan malam tersembunyi dalam “Mandoob” (“Night Courier”) dan perubahan norma sosial dalam “Naga.”
“Saya rasa kami menceritakan cerita kami dengan cara yang sangat sederhana dan itulah yang menjangkau dunia,” tutur Elshehri. “Ketika kamu menceritakan cerita secara alami tanpa dibuat-buat, itu akan sampai ke setiap orang.”
Film-film itu tidak lepas dari kritik dan mendapat reaksi campur aduk. Diskusi di media sosial bervariasi, mulai dari apresiasi terhadap pengangkatan topik sensitif hingga kemarahan atas cara film tersebut menggambarkan masyarakat konservatif.
Seperti yang disoroti oleh Hana Al-Omair, seorang penulis dan sutradara Arab Saudi, masih banyak cerita yang belum diceritakan.
“Kami masih memiliki perjalanan panjang sebelum dapat menceritakan narasi Arab Saudi dengan cara yang seharusnya,” ujarnya, sambil mengakui adanya hambatan dan sensor yang masih ada.
Contohnya, “The Goat Life,” film berbahasa Malayalam tentang seorang pria India yang dipaksa bekerja tanpa bayaran di Arab Saudi, tidak tersedia dalam layanan Netflix Arab Saudi. Film dengan topik politik atau cerita LGBTQ+ juga sulit untuk dipertimbangkan.
Bahkan “My Driver and I” yang diputar di Festival Film Internasional Red Sea bersama 11 film panjang lainnya, awalnya dianggap terlalu kontroversial. Film ini mengisahkan seorang pria Sudan di Jeddah yang merasa bertanggung jawab atas seorang gadis yang dia antar. Sang sutradara, Ahd Kamel, menyebutkan bahwa film ini sempat diblokir karena hubungan antara sang sopir dan gadis tersebut, sekalipun tidak ada unsur romantis.
Bagaimanapun, pada 2024, film itu berhasil dirilis dan menjadi simbol evolusi industri perfilman Arab Saudi, serta menyoroti peran perempuan seperti Kamel di balik layar dan Dakheelallah di depan layar.
“Saya melihat perubahan yang sangat indah dalam sinema Saudi dan perubahannya bergerak dengan sangat cepat. Menurut saya, kita tidak perlu terburu-buru,” ujar Dakheelallah. “Kita perlu mengarahkan dan memperkenalkan kebenaran dari gerakan seni yang sedang berkembang di Arab Saudi.”