Menu Tutup

Menyingkap Prinsip Pacta Sunt Servanda, Asas Fundamental dalam Hukum Perjanjian

BERITA FILM TERBARU – Menyingkap Prinsip Pacta Sunt Servanda, Asas Fundamental dalam Hukum Perjanjian. Pacta sunt servanda adalah asas yang sangat fundamental dalam dunia hukum, baik dalam konteks nasional maupun internasional. Frasa ini berasal dari bahasa Latin yang berarti “perjanjian harus ditepati.”

Asas ini menjadi landasan bahwa setiap perjanjian yang dibuat dengan sah oleh para pihak harus dijalankan dengan itikad baik dan memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Dalam hukum nasional, terutama di Indonesia, prinsip ini tertuang dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer), yang menyatakan bahwa semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi pihak-pihak yang membuatnya.

Namun, pacta sunt servanda tidaklah absolut. Dalam situasi tertentu, prinsip ini bisa dikesampingkan jika terdapat kepentingan yang lebih besar, seperti pelanggaran terhadap ketertiban umum atau hukum yang lebih tinggi seperti jus cogens dalam hukum internasional. Dalam artikel ini, kita akan membahas lebih dalam mengenai pengertian, sejarah, penerapan, serta pengecualian dari prinsip pacta sunt servanda baik dalam hukum nasional maupun internasional.

Untuk memahami lebih dalam mengenai asas ini, simak penjelasan selengkapnya berikut ini seperti yang telah dirangkum Liputan6.com dari berbagai sumber, Selasa (3/9/2024).

Apa Itu Pacta Sunt Servanda?

Pengertian dan Sejarah

Pacta sunt servanda adalah prinsip yang menyatakan bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah memiliki kekuatan mengikat yang sama dengan undang-undang. Asas ini tidak hanya berlaku dalam konteks perjanjian individu tetapi juga dalam perjanjian internasional yang melibatkan negara-negara.

Sejarah dari asas ini bisa ditelusuri kembali ke zaman Romawi Kuno, di mana hukum Romawi sangat menghormati perjanjian yang dibuat oleh individu atau negara. Prinsip ini kemudian berkembang menjadi salah satu fondasi utama dalam sistem hukum yang mengedepankan keadilan dan kejujuran dalam perikatan perjanjian.

Pacta Sunt Servanda dalam Hukum Nasional

Dalam konteks hukum nasional, seperti yang diatur dalam KUHPer, asas pacta sunt servanda menjamin bahwa semua perjanjian yang dibuat dengan sah oleh para pihak berlaku sebagai undang-undang bagi mereka. Artinya, jika sebuah perjanjian telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian, seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPer, maka perjanjian tersebut tidak hanya mengikat secara moral tetapi juga memiliki kekuatan hukum yang dapat dituntut di pengadilan.

Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian meliputi:

  1. Kesepakatan Para Pihak: Kedua belah pihak harus sepakat atas isi perjanjian.
  2. Kecakapan Hukum: Pihak-pihak yang bersepakat harus memiliki kecakapan hukum.
  3. Objek yang Diperjanjikan: Objek yang diperjanjikan harus jelas dan dapat dilaksanakan.
  4. Sebab yang Halal: Perjanjian tersebut harus dibuat untuk tujuan yang tidak bertentangan dengan hukum atau kesusilaan.

Pacta Sunt Servanda dalam Hukum Internasional

Prinsip dalam Perjanjian Internasional

Dalam hukum internasional, pacta sunt servanda adalah norma dasar yang mengikat negara-negara untuk mematuhi perjanjian internasional yang telah mereka setujui. Prinsip ini tercantum dalam Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969, yang menggarisbawahi bahwa setiap perjanjian yang telah ditandatangani dan diratifikasi oleh negara-negara peserta memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Ini berarti bahwa negara harus mematuhi ketentuan-ketentuan dalam perjanjian tersebut dalam wilayah teritorial mereka.

Pengecualian dalam Hukum Internasional

Meskipun pacta sunt servanda memiliki kedudukan yang sangat kuat dalam hukum internasional, ada pengecualian yang diakui, seperti jus cogens, yang merupakan norma internasional yang tidak boleh dilanggar dalam keadaan apapun. Misalnya, sebuah perjanjian yang melanggar hak asasi manusia atau prinsip-prinsip fundamental lainnya dalam hukum internasional dapat dinyatakan tidak sah meskipun perjanjian tersebut telah disetujui oleh negara-negara yang terlibat.

Selain itu, asas clausula rebus sic stantibus dalam hukum internasional memungkinkan negara untuk mengakhiri atau mengubah perjanjian jika terjadi perubahan keadaan yang mendasar yang melandasi iktikad mereka untuk terikat pada perjanjian tersebut. Ini diatur dalam Pasal 62 Konvensi Wina 1969 dan memberikan fleksibilitas dalam menerapkan asas pacta sunt servanda dalam perjanjian internasional.

Pacta Sunt Servanda dalam Penegakan Hukum Pidana Internasional

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *